MK Batalkan UU Tapera, Permohonan KSBSI Dikabulkan Seluruhnya

By Admin 05 Okt 2025, 12:22:48 WIB Berita Nasional
MK Batalkan UU Tapera, Permohonan KSBSI Dikabulkan Seluruhnya

Jakarta, 29 September 2025 - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh permohonan KSBSI dalam Putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024 pengujian materiil UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera).

Seluruh pasal dalam UU Tapera dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, termasuk Pasal 7 ayat (1) yang menjadi “jantung” UU Tapera.

Seperti diketahui, permohonan didaftarkan 9 Juli 2024, dan putusan dibacakan pada 29 September 2025 setelah lebih dari satu tahun perjuangan, pihak Pemohon KSBSI dipimpin Presiden Elly Rosita Silaban dan Sekretaris Jenderal Dedi Hardianto, melalui kuasa hukum Harris Manalu, S.H., dkk. Permohonan menguji enam pasal UU Tapera.

Baca Lainnya :

“Ini kemenangan bagi seluruh pekerja, buruh, serikat pekerja, dan rakyat kelas menengah kebawah. Buruh harus tetap optimis memperjuangkan haknya. MK telah memberi keadilan bagi kaum lemah.” kata Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban dalam keterangannya. 

Harris Manalu salah satu Kuasa Hukum KSBSI mengatakan “Walaupun hanya enam pasal diuji, MK menyatakan seluruh UU Tapera inkonstitusional. Pasal 7 ayat (1) adalah jantung UU Tapera; pembatalannya membuat UU Tapera tidak dapat dijalankan secara keseluruhan.” jelasnya.

MK memberi kesempatan kepada DPR dan Presiden untuk menyusun UU perumahan baru tanpa mewajibkan pekerja menjadi peserta, menyesuaikan dengan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. 

"Kemenangan KSBSI menegaskan pentingnya perjuangan serikat buruh untuk keadilan konstitusional pekerja di Indonesia." jelasnya.

Sementara itu dalam keternagan resminya, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024 menyatakan mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera). Dalam amar putusan tersebut, Mahkamah menyatakan UU Tapera bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dilakukan penataan ulang sebagaimana amanat Pasal 124 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.

“3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5863) dinyatakan tetap berlaku dan harus dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan a quo diucapkan,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan pada Senin (29/9/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Wajib Peserta Tapera Tumpang Tindih

Pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebutkan, adanya kewajiban pekerja menjadi peserta Tapera agar dapat mencapai tujuan menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang sebagaimana tujuan Pasal 2 UU 4/2016, maka hal ini menimbulkan kontradiksi dengan kemudahan yang dimaksudkan dalam UU 1/2011. Terlebih peserta Tapera termasuk di dalamnya pekerja dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

“Padahal tanpa wajib menjadi peserta, setiap pekerja juga sudah dapat mengakses layanan kepemilikan, pembangunan, dan renovasi rumah dari berbagai skema,” kata Saldi.

Mahkamah menilai keberadaan Tapera sebagai kewajiban apalagi disertai dengan sanksi, tidak hanya bersifat tumpang tindih (overlapping), tetapi juga berpotensi menimbulkan beban ganda, terutama bagi kelompok pekerja yang sudah berkontribusi dalam skema jaminan sosial lainnya yang telah ada. Sebab, Tapera bukan satu-satunya instrumen, seperti halnya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah memiliki akses langsung terhadap skema perumahan resmi yang dijalankan PT Taspen Properti Indonesia (Taspro), sedangkan bagi prajurit TNI dan anggota Polri serta ASN di lingkungan Kementerian Pertahanan dan Polri juga dapat mengikuti program Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP) atau Pinjaman Uang Muka Kredit Kepemilikan Rumah (PUM KPR) Asabri. Di luar program tersebut, masyarakat juga memiliki opsi pembiayaan perumahan melalui berbagai skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang disediakan bank di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Pasal Jantung”

Selain itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pertimbangan hukum mengatakan Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 merupakan ruh yang menjiwai keseluruhan norma dalam UU 4/2016 karena esensinya untuk pengerahan dana dengan cara pemupukan dana dari peserta, dalam hal ini pekerja. Namun, jika kata ‘wajib’ dalam norma itu diubah menjadi kata ‘dapat’ sebagaimana petitum Pemohon, maka keseluruhan mekanisme Tapera kehilangan logika normatifnya. Sanksi menjadi tidak berdasar, kewajiban penyetoran menjadi tidak bermakna, dan operasional kelembagaan Tapera menjadi tidak mungkin dijalankan sebagaimana tujuan pembentukan UU 4/2016.

“Oleh karena itu, perubahan redaksional semata hanya menimbulkan disharmoni internal, inkonsistensi antarpasal, serta ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Sebab, Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 sesungguhnya merupakan “pasal jantung” (core norm) dari keseluruhan sistem Tapera dalam UU 4/2016 yang berlandaskan prinsip kewajiban menjadi peserta tersebut,” jelas Enny.

Tapera dibentuk dengan konsep ‘tabungan’ tetapi hasil akhir hanyalah pengembalian uang simpanan di akhir masa kepesertaan atau masa pensiun. Skema demikian secara inheren tidak mampu memenuhi tujuan utama yaitu memberikan akses kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta. Karena itu, pembentuk undang-undang harus menata ulang desain pemenuhan hak atas rumah dengan mengembangkan konsep perumahan yang salah satunya adalah central public housing agar dapat menyelesaikan persoalan keterbatasan lahan perkotaan dan memberikan hunian bagi MBR sebagai bagian dari sistem nasional penyediaan hunian publik yang masif, terjangkau, dan berkelanjutan.

“Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” tutur Enny.

Dengan telah dinyatakannya Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, maka konsekuensi yuridisnya ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 17 ayat (1) UU 4/2016 sebagaimana yang didalilkan pula oleh Pemohon, kehilangan dasar konstitusionalnya. Secara yuridis berlaku asas accessorium sequitur principale, norma yang bersifat aksesori tidak dapat berdiri sendiri apabila norma utama atau pasal jantung dibatalkan. Karena Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) yang mengatur mekanisme kewajiban mendaftar pekerja dan pekerja mandiri sebagai peserta Tapera serta Pasal 17 ayat (1) UU 4/2016 yang menyatakan ‘simpanan Tapera dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja’ merupakan kelanjutan dari kewajiban Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 sebagai norma utama.

Kemudian, Pemohon juga mempermasalahkan keberadaan norma delegatif dalam Pasal 16 UU 4/2016 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur lebih lanjut tata cara kepesertaan dan simpanan melalui peraturan pemerintah. Meskipun pasal ini secara redaksional tidak mengatur substansi kewajiban, melainkan hanya memberi kerangka teknis, tetapi keberlakuannya tetap tidak dapat dipertahankan karena norma delegatif tersebut tidak lagi memiliki pijakan.

Tenggang Waktu 2 Tahun

Mahkamah memandang perlu memberikan tenggang waktu (grace period) yang dinilai cukup bagi pembentuk undang-undang untuk menata ulang pengaturan. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang perlu memperhitungkan secara cermat ihwal pendanaan dan sistem pembiayaan perumahan dari pengaturan yang sifatnya mewajibkan menjadi pilihan bagi pemberi kerja, pekerja, termasuk pekerja mandiri sesuai dengan prinsip keadilan sosial, perlindungan kelompok rentan, serta kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan dan hak-hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945.

Mahkamah menilai pembatalan seketika terhadap UU 4/2016 tanpa masa transisi dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan gangguan administratif dalam pengelolaan iuran maupun aset peserta termasuk potensi risiko hukum terhadap entitas pelaksana seperti Badan Pengelola Tapera dan lembaga keuangan terkait. Karena itu, untuk menghindari kekosongan hukum, Mahkamah memberikan tenggang waktu paling lama dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk menata ulang sesuai dengan amanat UU 1/2011.

Kehilangan Objek

Pada persidangan hari ini, Mahkamah juga menjatuhkan putusan terhadap permohonan pengujian UU Tapera lainnya yaitu Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024 dan 134/PUU-XXII/2024. Mahkamah menyatakan, pertimbangan hukum Putusan Nomor 96/PUU-XXII/2024 berlaku pula untuk dua putusan tersebut.

Sekalipun Pemohon dalam permohonannya tidak mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU 4/2016 tetapi UU 4/2016 telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah sebagaimana amar Putusan 96/PUU-XXII/2024, maka permohonan para Pemohon baik dalam permohonan 86/PUU-XXII/2024 maupun 134/PUU-XXII/2024 menjadi kehilangan objek.

“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Nomor 86/PUU-XXII/2024 dan Nomor 134/PUU-XXII/2024 tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Suhartoyo. (RED/handi)




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment